Refleksi dan Resolusi Perjuangan Guru Bangsa H.O.S Tjokroaminoto


-Doenia Bergerak-
Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia.
Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap, 
Sehingga hanya kulit tersisa. 
Siapapula tak memuji sapi dan kerbau?
Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya.
Tapi  kalau mereka tahu hak-haknya, 
orang pun akan menamakannya pongah, karena tak mau ditindas.
Bahasamu terpuji halus di sekuruh dunia, dan sopan pula. 
Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo, 
dan orang laun menegurmu dalam bahasa ngoko.
Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar. 

-H.O.S Tjokroaminoto, 1941-


-Menuang Syarah

Tadi malam selama 4 jam, empat pendekar (mas Fauzi, Iskandar, Jahe, dan Ibnu) dari perguruan @rumahpeneleh menggelar bedah buku sejarah pemikiran HOS Tjokroaminoto di rumahnya (Jang Oetama) sendiri. Menuang karya mereka sebagai refleksi dan resolusi gerakan membangun peradaban yang didamba. Sebuah karya apik, mengulik sejarah dan menemukan relevansi kekinian. 

Melempar paparan dengan argumentasi yang memikat dengan suara parau batuk tidak menyurutkan suasana diskusi menggema. Tentang ragam latar yang memantik pemikiran transformatif perjuangan Guru Bangsa sebagai pribadi, ideolog,dan organisatoris. Mulai dari syarah Islam dan sosialisme, Memeriksai alam kebenaran, hingga Reglement/wasiat untuk umat. Kegalauan yang mencerna gerakan untuk sebuah cita kemerdekaan Hindia Belanda. 

Tentu kupasan kulit bawang tidak melulu sebagai produk pemikiran ansich, namun aksi nyata membangun kesadaran melalui organisasi. Ragam pilihan strategi evolutif yang kooperatif menyasar kalangan kromo, pemuda, ulama, pedagang dan bahkan musuh bersama yaitu pemuja komunisme dan kolonialisme. Bineka persuasi melalui pergerakan, perdagangan, agama dan budaya menjadi kearifan lokal warga pribumi dalam membumikan tatanan peradaban. Dan relevansi sejarah dan kekinian menjadi ranah temuan benang emas diskusi antar entitas yang bergayung sambut gempita. Boleh jadi masih menyisakan ruang tanya, perdebatan atau gugatan sebagai dinamika dialektis. Lumrah. 

Bila toh perjuangan pada akhirnya adalah klimaks perayaan kegundahan yang tak berkesudahan dan kematian; sejatinya semangat dan sejarahnya adalah pengakuan pada perjuangan dan kehidupan yang semestinya. Sebab Indonesia adalah milik kita bukan hegemoni liyan, sebagai cuilan surga yang dihadiahkan Tuhan di bumi Nusantara, yang bermanfaat bagi semesta. [Nashrudin Latif, Aktivis Peneleh Surabaya]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar